• Posted by : Unknown Rabu, 06 Januari 2016



    MAKALAH  FIQH

    ISLAM DAN TANTANGAN MODERNITAS

    Disusun dalam rangka untuk  melengkapi tugas mata kuliah ilmu fiqh





    Dosen Pembimbing: Dr. Hj. Umi Chaidaroh. M. HI.

    Disusun oleh kelompok IV :
    1.      Nur Millah Azkiyah
    2.      Siti Nur Iffah




    UNIVERSITAS KH. A. WAHAB HASBULLAH (UNWAHA)
    PENDIDIKAN BAHASA ARAB (PBA) TAMBAKBERAS JOMBANG 2015/2016
    KATA PENGANTAR

    Puji syukur senantiasa kita panjatkan kepada Allah SW yang mana atas berkat dan pertolongan-Nyalah kami dapat menyelesaikan makalah ini. Terima kasih juga kami ucapkan kepada dosen pembimbing yang telah membimbing kami sehingga  bisa menyelesaikan makalah ini sesuai waktu yang telah ditentukan.
    Sholawat serta salam senantiasa kami haturkan kepada suritauladan kita Nabi Muhammad SAW yang selalu kita harapkan syafa’atnya di hari kiamat nanti.
    Makalah ini kami buat dalam rangka untuk menambah pengetahuan dan wawsan mengenai Islam dan Tantangan Moderen. Makalah ini juga dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah “FIQH’’.
                Dengan segala keterbatasan yang ada, kami telah berusaha dengan segala daya dan upaya guna menyelesaikan makalah ini. Kami  menyadari  bahwasanya makalah ini jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca untuk menyempurnakan makalah ini. Atas kritik dan sarannya kami ucapkan terimakasih yang sebanyak-banyaknya.











    Jombang,




    Kelompok IV



    DAFTAR ISI
    BAB I

    PENDAHULUAN

    A.    Latar belakang
    Secara teologis, Islam merupakan sistem nilai dan ajaran yang bersifat ilahiah (transenden). Pada posisi ini Islam adalah pandangan dunia (weltanschaung) yang memberikan kacamata pada manusia dalam memahami realitas.
      Meski demikian, secara sosiologis, Islam merupakan fenomena peradaban, realitas sosial kemanusiaan. Pada wilayah ini nilai-nilai Islam bertemu dan berdialog secara intens dengan kenyataan hidup duniawi yang selalu berubah dalam partikularitas konteksnya.
           Dialog antara universalitas nilai dan partikularitas konteks menjadi penting dan harus selalu dilakukan agar misi Islam sebagai rahmat semesta alam dapat diwujudkan. Ketidakmampuan berdialog dapat menjebak agama pada posisi keusangan (kehilangan relevansi) atau pada posisi lain kehilangan otentitasnya sebagai pedoman hidup.
                Modernitas selalu terkait dengan liberalisme dan Hak Asasi Manusia. Dua hal ini adalah anak kandung modernitas yang tidak bisa ditolak kelahirannya. Makanya ketika seseorang membicarakan tentang modernitas, maka pastilah akan membicarakan tentang liberalisme. Dan di sisi lain juga membicarakan tentang HAM yang secara konseptual dikaitkan dengan barat yang modern. Dengan demikian bicara modernitas juga mesti dikaitkan dengan barat. Liberalisme sebagai bagian dari proyek modernitas tentunya merupakan tantangan yang sangat serius kepada agama. Sebab agama dianggap sebagai perwujudan dari tradisionalisme yang momot dengan keterbelakangan, ketertinggalan dan kemiskinan yang sangat kentara. Oleh karena itu ketika masyarakat ingin meninggalkan dunia tradisionalnya, maka yang pertama diambil adalah liberalisme atau kebebasan untuk melakukan sesuatu dalam konteks pragmatisme. Liberalisme kemudian tidak hanya menjadi gaya hidup yang menghinggapi kebanyakan orang yang ingin dianggap modern akan tetapi juga menjadi pedoman unggul di dalam semua perilakunya. Ajaran agama yang momot dengan ajaran yang membatasi kebebasan lalu ditinggalkan dan dianggap sebagai penghalang kemajuan. Agama dianggap sebagai penyebab ketidakmajuan sebuah masyarakat. Agama dianggap sebagai candu masyarakat, agama dianggap sebagai kabar angin dari langit dan sebagainya.
    B.     Rumusan Masalah
    1.      Apa yang dimaksud dengan Islam ?
    2.      Apa yang dimaksud dengan  modernitas ?
    3.      Bagaimana kondisi  Islam dalam menghadapi  tantangan modernitas ?
    4.      Bagaimana Gerakan Modernisasi Islam di Indonesia?

    C.   Tujuan
    1.         Untuk mengetahui maksud dari  Islam
    2.         Untuk mengetahui maksud dari modernitas
    3.         Untuk mengetahui kondisi Islam dalam menghadapi  tantangan modernitas
    4.         Untuk mengetahui gerakan modernisasi Islam di Indonesia



    BAB II

    PEMBAHASAN

    A.    Pengertian Islam

    Sebelum kita membahas tentang kondisi Islam dalam menghadapi tantangan modernitas, terlebih dulu kita akan mengupas sedikit pengertian dari Islam.
    Secara teologis, Islam merupakan sistem nilai dan ajaran yang bersifat ilahiah (transenden). Pada posisi ini Islam adalah pandangan dunia (weltanschaung) yang memberikan kacamata pada manusia dalam memahami realitas.
    Meski demikian, secara sosiologis, Islam merupakan fenomena peradaban, realitas sosial kemanusiaan. Pada wilayah ini nilai-nilai Islam bertemu dan berdialog secara intens dengan kenyataan hidup duniawi yang selalu berubah dalam partikularitas konteksnya.
    Dialog antara universalitas nilai dan partikularitas konteks menjadi penting dan harus selalu dilakukan agar misi Islam sebagai rahmat semesta alam dapat diwujudkan. Ketidakmampuan berdialog dapat menjebak agama pada posisi keusangan (kehilangan relevansi) atau pada posisi lain kehilangan otentitasnya sebagai pedoman hidup.

    B.     Pengertian Modernitas

    Asal kata modernitas adalah modern, Modern berarti baru, saat ini, up to date. Ini adalah makna obyektif modern. Secara subyektif makna modern terkait erat dengan konteks ruang waktu terjadinya proses modernisasi. Nurcholis Majid melihat zaman modern merupakan kelanjutan yang wajar pada sejarah manusia. Setelah melalui zaman pra-sejarah dan zaman agraria di Lembah Mesopotamia (bangsa Sumeria) sekitar 5000 tahun yang lalu, umat manusia memasuki tahapan zaman baru, zaman modern, yang dimulai oleh bangsa Eropa Barat laut sekitar dua abad yang lalu (Majid; 2000, 450)
                Zaman baru ini, menurut Arnold Toynbee seperti yang dikutip oleh Majid, dimulai sejak menjelang akhir abad ke-15 M ketika orang Barat berterima kasih tidak kepada Tuhan tetapi kepada dirinya sendiri karena telah berhasil mengatasi kungkungan Kristen abad pertengahan.
                Zaman modern merupakan hasil dari kemajuan yang dicapai masyarakat Eropa dalam sains dan teknologi. Pencapaian tersebut berimbas pada terbukanya selubung kesalahan dogma gereja setelah manusia berhasil mengenal hukum- hukum alam dan menguasainya. Pengetahuan tersebut menjadi kritik terhadap gereja dan berujung pada sikap anti gereja. Maka, di era ini, manusia menjadi penguasa atas diri dan hidupnya sendiri. Doktrin teosentris (kekuasaan Tuhan) yang dihegemonikan gereja selama abad pertengahan diganti dengan doktrin manusia sebagai pusat kehidupan (antroposentrisme). Sebagai kritik atas masa lalu, zaman modern banyak memutus nilai-nilai dan jalan hidup tradisional dan digantikan dengan nilai-nilai baru berdasar sains yang dicapai manusia. Di era ini manusia mencipta pola hidup baru yang berbeda dengan era sebelumnya. Tentang hal ini David Kolb menyatakan “we are developing something new in history” (Kolb; 1986, 2).
    Kepercayaan diri manusia modern membuat banyak dari mereka yang mengasumsikan zaman modern sebagai puncak perkembangan sejarah kemanusiaan. August Comte, salah seorang ilmuan positivis, mengakui bahwa sejarah peradaban manusia mengalami tiga tahap perkembangan; 1) teologis, dimana manusia memahami alam sebagai hasil campur tangan Tuhan. Tahap ini terbagi dalam tiga sub: animisme, politeisme, dan monoteisme. 2) metafisika. Pada tahap ini peran Tuhan di alam digantikan oleh prinsip- prinsip metafisika, seperti kodrat. Dan tahap terakhir 3) adalah positif. Tahap ini diwarnai oleh keyakinan yang cukup besar pada kemampuan sains dan teknologi. Manusia tidak lagi mencari sebab absolut ilahiah dan berpaling pada pemahaman hukum-hukum yang menguasai alam.(Donny Gahral Adian; 2002, 65-66).
    Penguasaan atas sains dan teknologi membawa bangsa-bangsa Eropa ke arah kemajuan luar biasa hingga mampu menandingi dan menguasai bangsa-bangsa Islam. Kolonialisasi menjadi pilihan yang diambil bangsa-bangsa penguasa baru tersebut.  Kolonialisme dilakukan bukan hanya dengan senjata mesin, tetapi juga tata nilai, ideologi dan kultur. Maka, terjadilah pergesekan antara nilai baru yang dibawa oleh bangsa kolonial dengan kultur asli bangsa muslim.

    C.    Tantangan Modernitas  

    Pergulatan modernitas dan tradisi dalam dunia Islam melahirkan upaya-upaya pembaharuan terhadap tradisi yang ada. Harun Nasution menyebut upaya tersebut sebagai gerakan pembaruan Islam, bukan gerakan modernisme Islam. Menurutnya, modernisme memiliki konteksnya sebagai gerakan yang berawal dari dunia Barat bertujuan menggantikan ajaran agama Katolik dengan sains dan filsafat modern. Gerakan ini berpuncak pada proses sekularisasi dunia Barat (Nasution; 1975, 11).
    Berbeda dengan Nasution, Azyumardi Azra lebih suka memakai istilah modern dari pada pembaruan. Azra beralasan penggunaan istilah pembaruan Islam tidak selalu sesuai dengan kenyataan sejarah. Pembaruan dalam dunia Islam modern tidak selalu mengarah pada reaffirmasi Islam dalam kehidupan muslim. Sebaliknya, yang sering terjadi adalah westernisasi dan sekularisasi seperti pada kasus Turki (Azra; 1996, xi)
    Apa yang disampaikan Azra adalah kenyataan modernisme dalam makna subyektifnya, sedangkan Nasution mencoba melihat modern dengan makna obyektif. Memang harus diakui, ekspansi gagasan modern oleh bangsa Barat tidak hanya membawa sains dan teknologi, tetapi juga tata nilai dan pola hidup mereka yang sering kali berbeda dengan tradisi yang dianut masyarakat obyek ekspansi. 
    Baik dalam makna obyektif atau subyektifnya, modernitas yang diimpor dari bangsa Barat membuat perubahan dalam masyarakat muslim, di segala bidang. Pada titik ini umat Islam dipaksa memikirkan kembali tradisi yang pegangnya berkaitan dengan perubahan yang sedang terjadi. Respons ini kemudian melahirkan gerakan-gerakan pembaruan.
    Tetapi, pembaruan Islam bukan sekedar reaksi muslim atas perubahan tersebut. Degradasi kehidupan keagamaan masyarakat muslim juga menjadi faktor penting terjadinya gerakan pembaruan. Banyak tokoh-tokoh umat yang menyerukan revitalisasi kehidupan keagamaan dan membersihkan praktek-praktek keagamaan dari tradisi-tradisi yang dianggap tidak islami.

    D.    Potensi  kuat Islam untuk menjawab tantangan modernitas

    Ernest Gellner, seperti yang dikutip Majid, menyatakan bahwa di antara tiga agama monoteis; Yahudi, Kristen dan Islam, hanya Islamlah yang paling dekat dengan modernitas. Ini karena ajaran Islam tentang universalisme, skripturalisme (ajaran bahwa kitab suci dapat dibaca dan dipahami oleh siapa saja, tidak ada kelas tertentu yang memonopoli pemahaman kitab suci dalam hierarki keagamaan), ajaran tentang partisipasi masyarakat secara luas (Islam mendukung participatory democracy), egalitarianisme spiritual (tidak ada sistem kerahiban-kependetaan), dan mengajarkan sistematisasi rasional kehidupan sosial (Majid, 467).
    Yusuf Qardhawi menilai kemampuan Islam berdialog secara harmoni dengan perubahan terdapat dalam jati diri Islam itu sendiri. Potensi tersebut terlihat dari karakteristik Islam sebagai agama rabbaniyah (bersumber dari Tuhan dan terjaga otentitasnya), insaniyah (sesuai dengan fitrah dan demi kepentingan manusia), wasthiyyah (moderat-mengambil jalan tengah), waqiiyah (kontekstual), jelas dan harmoni antara perubahan dan ketetapan (Qardhawi; 1995).

    E.     Pembaruan Islam

    Meski Islam potensial menghadapi perubahan, tetapi aktualitas potensi tersebut membutuhkan peran pemeluknya. Ketidakmampuan pemeluk Islam dapat berimbas pada tidak berkembangnya potensi yang ada. Ungkapan yang sering dipakai para pembaru Islam untuk menggambarkan hal ini adalah âہ“al-Islam mahjub bi al-muslimin).
    Dalam mengaktualisasikan potensi tersebut, pemeluk Islam difasilitasi dengan intitusi tajdid (pembaruan, modernisasi). Ada dua model tajdid yang dilakukan kaum muslim: seruan kembali kepada fundamen agama (al-Qurâۉ„¢an dan hadith), dan menggalakkan aktivitas ijtihad. Dua model ini merupakan respons terhadap kondisi internal umat Islam dan tantangan perubahan zaman akibat modernitas. Model pertama disebut purifikasi, upaya pemurnian akidah dan ajaran Islam dari percampuran tradisi-tradisi yang tidak sesuai dengan Islam. Sedang model kedua disebut dengan pembaruan Islam atau modernisme Islam (Achmad Jainuri; 1995, 38).
    Di sini, Tajdid memiliki peranan yang signifikan. Ketiadaan rasul pasca Muhammad SAW. bukan berarti tiadanya pihak-pihak yang akan menjaga otentitas dan melestarikan risalah Islam. Jika sebelum Muhammad SAW. peranan menjaga dan melestarikan risalah kerasulan selalu dilaksanakan oleh nabi atau rasul baru, pasca Muhammad SAW. peran tersebut diambil alih oleh umat Islam sendiri. Rasul Muhammad SAW. pernah menyatakan bahwa ulama` merupakan pewarisnya, dan di lain kesempatan ia menyatakan akan hadirnya mujaddid di setiap seratus tahun.
    Dalam proses tersebut, setiap ajaran Islam mengalami pembaruan yang berbeda-beda, bahkan ada yang tidak boleh disentuh sama sekali. Aqidah dan ibadah merupakan domain yang sangat tabu tersentuh proses perubahan. Yang bisa dilakukan dalam kedua wilayah tersebut adalah pembersihan dari aspek-aspek luar yang tidak berasal dari doktrin Islam. Di sini berlaku kaidah “semua dilarang kecuali yang diperintah”.
    Berbeda dengan itu, aspek muamalah (interaksi sosial) merupakan wilayah gerak tajdid dengan sedikit tabu di dalamnya. Pada aspek ini nilai-nilai Islam mewujudkan dirinya berupa paradigma (cara pandang) kehidupan.
    Ajaran Islam menyediakan pedoman-pedoman dasar yang harus diterjemahkan pemeluknya sesuai dengan konteks ruang waktu yang melingkupinya. Pada wilayah ini yang berlaku adalah kaidah “semua dibolehkan kecuali yang dilarang”.
    Menurut Kuntowijoyo (Kuntowijoyo; 1997, 170) penerjemahan nilai-nilai tersebut bisa dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Yang pertama berangkat dari nilai ajaran langsung ke wilayah praktis. Ilmu fiqh merupakan salah satu perwujudan yang pertama ini. Sementara yang kedua berangkat dari nilai ke wilayah praktis dengan melalui proses filsafat sosial dan teori sosial terlebih dahulu (nilai-filsafat sosial-teori sosial). Sebagai contoh adalah ayat yang menjelaskan Allah tidak akan merubah suatu kaum jika mereka tidak merubah dirinya sendiri. Nilai perubahan ini harus diterjemahkan menjadi filsafat perubahan sosial, kemudian menjadi teori perubahan dan baru melangkah di wilayah perubahan sosial.
    Keberadaan tajdid menjadi bukti penting penghargaan Islam terhadap kemampuan manusia. Batas-batas yang ada dalam proses tajdid bukan merupakan pengekangan terhadap kemampuan manusia, tetapi sebagai media mempertahankan otentisitas risalah kenabian. Ketika agama hanya menghadirkan aspek-aspek yang tetap, abadi, tidak bisa berubah maka yang terjadi adalah ketidakmampuan agama mempertahankan diri menghadapi zaman. Akibatnya, agama akan kehilangan relevansinya. Ini seperti yang terjadi pada gereja di abad pertengahan.
    Sebaliknya, jika aspek-aspek yang tetap, abadi dan tidak berubah tersebut tidak ada dalam agama, maka agama akan kehilangan otentitasnya sebagai pedoman hidup manusia. Di sinilah, kekhasan Islam seperti yang disebut Qardhawi di atas berperan. Islam berdiri di tengah-tengah. Islam mengandungi ketetapan-ketetapan di satu sisi, dan keluwesan-keluwesan di sisi lainnya. Dengan sikap terebut Islam bisa tetap eksis di tengah perubahan zaman tanpa kehilangan otentitasnya sebagai agama ilahiah.
    Gagasan pembaharuan Islam dapat dilacak di era pra-modern pada pemikiran Ibn Taymiyah (abad 7-8 H/13-14 M). Taymiyah banyak mengkritik praktek-praktek islam populer yang tidak sesuai dengan ajaran Islam dan menyerukan kembali kepada syariat. Gerakan lain dilakukan oleh Muhammad Abdul Wahab di Arabia pada abad ke 18 M yang menolak dengan keras tradisi yang tidak Islami (Jainuri; 2002, 15-17).
    Jika pembaharuan pra-modern dilakukan sebagai otokritik praktek keagamaan populer masyarakat muslim, pembaruan era modern merupakan respons umat Islam terhadap tantangan yang ditawarkan oleh modernitas Barat. Di era ini tercatat beberapa tokoh yang cukup populer seperti al-Afghani, Abduh, Rasyid Ridha, Sayyid Sabiq, Muhammad Iqbal, dll.
    Proses pembaharuan era modern mengalami dinamikaa yang cukup kompleks. Keinginan harmonisasi Islam dengan modernitas melahirkan banyak pemikir dengan karakteristik yang berbedaa-beda. Sebagian pemikir tampak wajah puritanismenya, dan sebagian yang lain condong pada modernitas, bahkan, terjebak pada pengagungan nilai-nilai modern (seperti sekularisme).

    F.     Gerakan Modernisme Islam
    Gerakan modernisme Islam pada abad ke-19 dipelopori oleh Sayyid Jamaluddin al-Afghani (1839–1897). Meskipun lahir di Afghanistan, usianya dihabiskan di berbagai bagian Dunia Islam: India, Mesir, Iran, dan Turki. Dia mengembara ke Eropa, dari Saint Petersburg sampai Paris dan London. Di mana pun dia tinggal dan ke mana pun dia pergi, Jamaluddin senantiasa mengumandangkan ide-ide pembaharuan dan modernisasi Islam.
    Bersama muridnya, Syaikh Muhammad Abduh (1849–1905) dari Mesir, Jamaluddin pergi ke Paris untuk menerbitkan majalah Al-`Urwah al-Wutsqa (Le Lien Indissoluble). Abduh menjadi pemimpin redaksi, dan Jamaluddin menjadi redaktur politik. Nomor perdana terbit 13 Maret 1884 (15 Jumad al-Ula 1301). Terbit setiap Kamis, majalah itu penuh dengan artikel-artikel ilmiah dan mengobarkan semangat umat untuk kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah Nabi, serta menyerukan perjuangan umat Islam agar terlepas dari belenggu penjajahan Eropa. Majalah Al-`Urwah al-Wutsqatersebar di kawasan Timur Tengah, Afrika Utara, India, dan kota-kota besar di Eropa. Sayangnya, majalah ini hanya sempat beredar 28 nomor saja dan terpaksa berhenti terbit pada bulan Oktober 1884. Hal ini disebabkan pemerintah kolonial Inggris melarang majalah itu masuk ke Mesir dan India, lalu pemerintah Turki Usmani (yang kuatir akan gagasan jumhuriyah atau republik yang diusulkan Jamaluddin) juga melarangnya beredar di wilayah kekuasaannya, sehingga Al-`Urwah al-Wutsqakehilangan daerah pemasarannya. Namun dalam masa delapan bulan beredar, majalah Muslim pertama di dunia itu berhasil menanamkan benih-benih modernisasi di kalangan umat Islam.
    Gagasan pembaharuan Jamaluddin dan Abduh menjadi lebih tersebar luas di seluruh Dunia Islam, tatkala seorang murid Abduh yang bernama Muhammad Rasyid Ridha (1865–1935) menerbitkan majalah Al-Manar di Mesir. Nomor pertamanya terbit 17 Maret 1898 (22 Syawwal 1315), dan beredar sampai tahun 1936. Majalah Al-Manar inilah yang secara kongkrit menjabarkan ide-ide Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh, serta berpengaruh langsung kepada gerakan modernisme Islam di Asia Tenggara pada awal abad ke-20.

    Singapura
    Pembukaan Terusan Suez tahun 1869 menyebabkan rute pelayaran antara Eropa dan Asia Tenggara tidak lagi melalui ujung selatan Afrika melainkan beralih melalui Laut Merah. Akibatnya, kaum Muslimin di Asia Tenggara makin mudah menunaikan ibadah haji melalui pelabuhan Jeddah. Jika pada tahun 1850-an jemaah haji Indonesia rata-rata cuma 1600 orang per tahun, maka jumlah ini menjadi tiga kali lipat pada dasawarsa 1880-an, lalu meningkat menjadi lebih dari 7000 jemaah per tahun pada awal abad ke-20. Selama berada di tanah suci banyak jemaah haji yang berkenalan dan mempelajari gagasan modernisasi Islam, kemudian membawanya pulang untuk disebarkan di kampung halaman.
    Sebagian besar jemaah haji Indonesia berangkat ke tanah suci melalui Singapura, kota pelabuhan yang didirikan Thomas Stamford Raffles tahun 1819. Selain karena di Singapura jumlah kapal ke Jeddah lebih banyak dan ongkosnya lebih murah, banyak calon haji yang menetap dahulu di Singapura untuk bekerja mencukupkan biaya ke tanah suci. Faktor lain yang menyebabkan calon haji Indonesia pergi dari Singapura adalah karena pemerintah kolonial Hindia Belanda sangat membatasi hubungan umat Islam Indonesia dengan Timur Tengah.
     Tidak dapat disangkal bahwa pengaruh Timur Tengah sangat berperan dalam membangkitkan perlawanan ulama-ulama Islam terhadap kolonial Belanda sepanjang abad ke-19. Perang Paderi (1821–1837) di Minangkabau timbul setelah para haji pulang dari Makkah dengan membawa ide pembaharuan Wahhabi. Pengaruh Turki sangat jelas pada Pangeran Diponegoro dan para pengikutnya dalam mengobarkan Perang Jawa (1825–1830). Pemberontakan rakyat Cilegon tahun 1888 dipimpin oleh para haji. Dan yang paling berat dihadapi Belanda adalah Perang Aceh (1873–1904) yang sangat diwarnai semangat keislaman melawan kaum kafir. Semua ini menyebabkan pemerintah Hindia Belanda memperketat persyaratan haji, sehingga para calon haji banyak memilih Singapura sebagai tempat transit. Pada awal abad ke-20 Singapura menjadi pusat jaringan komunikasi gerakan modernisme Islam di Asia Tenggara. Meskipun kaum Muslimin di kota metropolitan itu hanya seperlima jumlah penduduk (mayoritas penduduknya adalah Tionghoa), suasana urban dengan segala fasilitasnya, terutama penerbitan buku-buku dan media massa, sangat menunjang tersebarnya faham modernisme Islam yang dicanangkan Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh di Timur Tengah. Apalagi kaum Muslimin di Singapura itu merupakan perpaduan berbagai etnis dari Sumatera, Semenanjung, Jawa, Bugis, Hindustan, dan Hadramaut. Dari Singapura ide-ide pembaharuan Islam tersebar baik melalui para haji yang singgah maupun melalui buku dan majalah yang diterbitkan di kota itu.

    Minangkabau 
    Dalam perkembangan gerakan modernisme Islam di Indonesia, tidaklah dapat diabaikan peranan orang-orang Minangkabau. Di samping karena Minangkabau telah mengenal ide pembaharuan Islam sejak masa Perang Paderi, suku Minangkabau memiliki watak seperti suku Quraisy, yaitu senang mengembara (rihlata sy-syitaai wa sh-shaif), sehingga mereka terbiasa mengadakan kontak dengan dunia luar dan terbuka kepada ide-ide baru.
    Menjelang akhir abad ke-19, seorang putra Minangkabau menjadi imam Masjid al-Haram di Makkah, yaitu Syaikh Ahmad Khatib al-Jawi al-Minankabawi (1840–1916). Dia banyak mempunyai murid yang datang dari tanah air, antara lain Ahmad Dahlan (1868–1923) yang kelak mendirikan Muhammadiyah serta Hasyim Asy`ari (1871–1947) yang kelak mendirikan Nahdlatul-`Ulama’.
    Meskipun memegang teguh mazhab Syafi`i, Syaikh Ahmad Khatib tidaklah melarang para muridnya mempelajari ide-ide pembaharuan dari Jamaluddin, Abduh, dan Rasyid Ridha. Salah seorang murid Syaikh Ahmad Khatib adalah sepupunya, Syaikh Muhammad Tahir Jalaluddin (1869–1957), yang pada tahun 1893 sampai 1897 kuliah di Universitas Al-Azhar di Kairo dan menjadi sahabat akrab Rasyid Ridha. Ketika Rasyid Ridha menerbitkan Al-Manar tahun 1898, dia ikut menyumbangkan artikelnya. Syaikh Tahir pulang ke tanah air tahun 1899 dengan tekad menerbitkan majalah seperti Al-Manar di kawasan Asia Tenggara, agar gagasan modernisasi Islam lebih cepat tersiar di kalangan masyarakat.
                Maka pada bulan Juli 1906 di Singapura terbitlah majalah bulanan berbahasa Melayu dengan nama Al-Imam: Majalah Pelajaran Pengetahuan Perkhabaran. Dengan Syaikh Tahir Jalaluddin sebagai pemimpin redaksi, majalah itu memuat artikel-artikel yang mengajak umat Islam untuk membuka pintu ijtihad dan mempelajari ilmu-ilmu modern, serta terjemahan artikel-artikel dari majalah Al-Manar. Majalah ini terbit sebanyak 31 nomor dan berhenti tahun 1909 lantaran kehabisan dana. Gagasan modernisasi Islam yang disebarkan Al-Imam ternyata lebih bergaung di Indonesia, terutama Sumatera dan Jawa, daripada di Malaysia. Hal ini disebabkan pengaruh para sultan dan mufti kerajaan sangat kuat di Malaysia, sehingga ide-ide pembaharuan yang dianggap menggoyahkan kedudukan mereka sulit untuk tersebar.
                Sementara itu beberapa orang murid Syaikh Ahmad Khatib di tanah suci pulang ke Minangkabau, yaitu Muhammad Jamil Jambek (1860–1947), Muhammad Thaib Umar (1874–1920), Abdullah Ahmad (1878–1933), dan Abdulkarim Amrullah (1879–1945). Setelah majalah Al-Imam berhenti terbit, timbul niat di kalangan mereka berempat untuk menerbitkan majalah semacam itu di Minangkabau. Maka pada tanggal 1 April 1911 terbit majalah Al-Munir di Padang, dengan Abdullah Ahmad sebagai pemimpin redaksi. Inilah majalah modernisasi Islam yang pertama di Indonesia.
                Selama lima tahun usianya majalah Al-Munir beredar di seluruh Indonesia, terutama di Sumatera dan Jawa. Artikel-artikel majalah ini mengeritik praktek-praktek keagamaan yang tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi serta menganjurkan umat Islam menata metode dan sarana pendidikan. Tidaklah mengherankan jika daerah Minangkabau mempelopori sekolah-sekolah agama yang menerapkan sistem kurikulum modern. Pada tahun 1909 Abdullah Ahmad mendirikan Sekolah Adabiyah di Padang, lalu Abdulkarim Amrullah mendirikan Surau Jembatan Besi tahun 1914 di Padang Panjang. Setahun kemudian Padang Panjang juga memiliki Sekolah Diniyah Putri yang didirikan oleh Zainuddin Labai (1890–1924) dan adiknya, Rahmah al-Yunusiyah (1900–1969). Kemudian Surau Jembatan Besi bergabung dengan Surau Parabek, yang didirikan tahun 1908 oleh Ibrahim Musa (1882–1963), menghasilkan sekolah Sumatera Thawalib tahun 1918.

    Masyarakat Arab
                 Semangat modernisasi Islam mengalir pula ke Pulau Jawa. Masyarakat Arab di Jakarta mendirikan organisasi Jam`iyat al-Khair tahun 1901, akan tetapi baru memperoleh izin resmi dari pemerintah Hindia Belanda tanggal 17 Juli 1905. Organisasi ini membangun sekolah-sekolah modern di beberapa kota, dan keanggotaannya terbuka bagi orang-orang Muslim pribumi. Jam`iyat al-Khair aktif mendatangkan guru-guru dari Timur Tengah, antara lain Syaikh Ahmad Surkati (1872–1943) dari Sudan. Ahmad Surkati yang merupakan penganut faham Muhammad Abduh ini tiba di Jakarta pada bulan Maret 1911.
                Setelah aktif di Jam`iyat al-Khair, Ahmad Surkati menyadari bahwa organisasi ini terlalu didominasi oleh kaum sayyid yang berpikiran sempit. Maka pada tanggal 6 September 1914 (15 Syawwal 1332) Ahmad Surkati mendirikan organisasi Jam`iyah al-Ishlah wal-Irsyad. Organisasi yang lebih dikenal dengan sebutan Al-Irsyad ini segera berkembang dan memiliki cabang-cabang di Cirebon, Tegal, Pekalongan, Surakarta, Surabaya, dan beberapa kota lainnya di Jawa.

    Muhammadiyah
                 Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa organisasi pembaharuan dan modernisasi Islam yang terbesar adalah Muhammadiyah yang didirikan oleh Kyai Haji Ahmad Dahlan (1868–1923). Semasa kecil bernama Muhammad Darwis, Ahmad Dahlan menjabat khatib mesjid kesultanan Yogyakarta dengan julukan “Ketib Amin”. Sejak remaja Ahmad Dahlan sudah membaca majalah Al-`Urwah al-Wutsqa yang diselundupkan ke Jawa. Pada tahun 1890 Ahmad Dahlan menjadi murid Syaikh Ahmad Khatib di Makkah, dan tahun 1903 dia sengaja ke Makkah lagi untuk bermukim selama dua tahun. Ahmad Dahlan makin akrab dengan gagasan modernisasi Islam, bahkan sempat berkenalan dengan Muhammad Rasyid Ridha. Setelah pulang ke Yogyakarta, Ahmad Dahlan membina hubungan yang baik dengan para tokoh pembaharu di Minangkabau, terutama dengan Abdulkarim Amrullah yang terkenal dengan sebutan “Haji Rasul”. Anak Haji Rasul, Abdul Malik, dan menantu Haji Rasul, Ahmad Rasyid, kelak menjadi tokoh-tokoh Muhammadiyah, masing-masing populer dengan nama Hamka dan A.R.Sutan Mansur.
                Pada dasawarsa pertama abad ke-20 di Jawa berdiri tiga organisasi. Selain Jam`iyat al-Khair yang dipelopori masyarakat Arab, tumbuh pula dua organisasi pribumi, yaitu Budi Utomo tahun 1908, serta Sarekat Islam tahun 1911. Ahmad Dahlan menjadi anggota yang aktif dari ketiga organisasi tersebut. Akan tetapi dia merasa perlu mendirikan suatu organisasi yang benar-benar berorientasi kepada gerakan modernisme Islam. Ahmad Dahlan menilai Budi Utomo tidak memperjuangkan Islam, sedangkan Sarekat Islam dilihatnya menjurus ke bidang politik. Dalam suatu pertemuan antara Ahmad Dahlan dan Ahmad Surkati, kedua tokoh ini sepakat untuk berbagi tugas dengan masing-masing mendirikan organisasi: Ahmad Surkati menghimpun masyarakat Arab dan Ahmad Dahlan menghimpun masyarakat pribumi.
                Maka pada hari Senin Legi tanggal 18 November 1912 (8 Dzulhijjah 1330), Kyai Haji Ahmad Dahlan mendirikan organisasi yang diberi nama Muhammadiyah, yang berarti “penegak ajaran Nabi Muhammad”. Organisasi ini berlambang matahari yang dihiasi dua kalimat syahadat, persis seperti hiasan gambar matahari di pintu Ka`bah! Dengan lambang matahari, diharapkan Muhammadiyah menjadi sumber energi yang senantiasa bersinar untuk menerangi umat Islam di Indonesia. Menurut Ahmad Dahlan, organisasi Muhammadiyah merupakan realisasi firman Allah “hendaklah ada dari kalanganmu suatu kelompok” (waltakun minkum ummah) yang berfungsi ganda, yaitu “mengajak kepada kebaikan” (yad`uuna ila l-khair) sebagai fungsi eksternal, serta “memerintahkan yang ma`ruf dan mencegah yang mungkar” (yamuruuna bi l-ma`ruuf wa yanhauna `ani l-munkar) sebagai fungsi internal. Itulah sebabnya Ahmad Dahlan merumuskan dua butir tujuan Muhammadiyah: (1)memadjoekan dan menggembirakan peladjaran dan pengadjaran agama Islam; serta (2) memadjoekan dan menggembirakan hidoep sepandjang kemaoean agama Islam dalam kalangan sekoetoe-sekoetoenja.
                Muhammadiyah merupakan gerakan modernisme Islam yang mempunyai dampak paling luas di Indonesia. Pada mulanya organisasi ini mendapat tantangan dan hambatan, terutama dari kaum adat dan ulama tradisional. Muncul tuduhan bahwa Muhammadiyah menyimpang dari garis“ahlus-sunnah wal-jama`ah”. Akan tetapi lambat laun masyarakat menyadari bahwa modernisasi memang suatu keharusan.

    Persatuan Islam
                 Pembicaraan mengenai gerakan modernisme Islam tidaklah lengkap apabila kita mengabaikan Persatuan Islam (Persis) yang didirikan di Bandung tanggal 17 September 1923 (5 Safar 1342) oleh ulama asal Palembang, Kyai Haji Zamzam (1894–1952), yang juga pernah bertahun-tahun menuntut ilmu keagamaan di Makkah. Seperti Muhammadiyah dan Al-Irsyad, Persatuan Islam juga menyatakan sebagai penerus gerakan pembaharuan Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Kelahiran organisasi ini dilandasi firman Allah “berpegang-teguhlah kepada tali Allah bersama-sama dan janganlah bercerai-berai” (wa`tashimuu bi hablil-laahi jamii`an wa laa tafarraquu) serta sabda Nabi“tangan Allah bersama orang-orang yang mengelompok” (yadu l-laahi ma`a l-jama`ah).
                Tokoh Persatuan Islam yang terkenal adalah Ahmad Hassan (1887–1958). Lahir dan besar di Singapura, Ahmad Hassan sejak remaja sudah mengenal gagasan pembaharuan yang disebarkan majalah Al-Imam. Dia banyak menulis artikel mengenai keharusan umat Islam kembali kepada ajaran Al-Qur’an dan As-Sunnah. Pada tahun 1921 Ahmad Hassan pindah ke Surabaya, daerah asal ibunya. Di sini dia menjadi akrab dengan Ahmad Surkati. Kemudian pada tahun 1925 Ahmad Hassan pindah ke Bandung, menjadi anggota Persatuan Islam tahun 1926, dan segera menjadi tokoh yang mewarnai corak dan gaya organisasi itu, yaitu keras, konsisten, dan tidak mengenal kompromi.
                Ahmad Hassan berpendapat bahwa pintu ijtihad harus dibuka dengan cara shock therapy, sehingga umat Islam terbangun dari tidur lelap. Jika Muhammadiyah mengutamakan aksi-aksi sosial melalui sekolah, rumah sakit dan panti asuhan, maka Persatuan Islam mengutamakan da`wah lisan dan tulisan, seperti memperbanyak tabligh, menerbitkan buku dan majalah, menyelenggarakan debat publik, dan berpolemik di media massa. Buku-buku dan majalah yang diterbitkan Persatuan Islam menjadi bahan rujukan bagi kaum modernis di Indonesia, terutama majalah Pembela Islam dan Al-Lisan. Demikian pula seri buku Soeal Djawab karya Ahmad Hassan tersebar di seluruh Indonesia dan Malaysia.













    BAB III

    PENUTUP

    A.    Kesimpulan
                 Modernitas yang melanda dunia Islam, dengan segala efek positif-negatifnya, menjadi tantangan yang harus dihadapi umat Islam di tengah kondisi keterpurukannya. Umat Islam dituntut bekerja ekstra keras mengembangkan seagala potensinya untuk menyelesaikan permasalahannya. Tajdid sebagai upaya menjaga dan melestarikan ajaran Islam menjadi pilihan yang harus dimanfaatkan secara maksimal oleh umat Islam. Upaya tajdid harus terus dilakukan, tidak boleh berhenti meski memerlukan cost yang besar.

    B.     Saran



    Daftar Pustaka

                Abdullah, Amin, Studi Agama: Normativitas dan Historisitas, Yogyakarta: Pustaka Pelalajar. 1996.

               Azra, Azyumardi, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, Bandung: Mizan, 1995.

    Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi. Bandung: Mizan, 1998.

                Madjid, Nurcholis, Islam Doktrin dan Peradaban Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan, Jakarta: Paramadina, 1992.

    Nasution, Harun, Pembaharuan Dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta: Bulan Bintang, 1975.
               
    Qordhowi, Yusuf, Al-Hulul Al-Mustauradah, Beirut, 1995.




     


    Leave a Reply

    Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

  • Copyright © - expresi top

    expresi top - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan