• Posted by : Unknown Selasa, 12 Januari 2016



    KATA PENGANTAR

         Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Alloh SWT ,berkat rahmat dan hidayahNya kami dapat menyelesaikan makalah ini.Dan taklupa solawat serta salam semoga tetap mengalir hingga hari akhir kepada baginda Nabi akhir zaman Rosullulloh saw.
         Kami juga mengucapkan banyak terimakasih kepada pihak pihak yang telah berkenan membantu ,sehingga makalah ini dapat terselesaikan.
    Semoga makalah filsafat islam yang berjudul Perbandingan Pendapat Tentang Pengertian Manusia antara Dr. Alexis Carrel dan Ibn Sina,semoga bermanfaat bagi kita semua terutama sang pembaca.
    Dan tak lupa juga kami mengharap saran dan kritik demi kesempurnaan makalah yang akan datang.Terimakasih atas perhatiannya.











                                                                                                    Jombang, 12 Oktober 2015

                                                                                                                Penulis

    DAFTAR ISI

    Kata Pengantar..................................................................................................................... I
    Daftar Isi.............................................................................................................................. II
    Pendahuluan
    1. Latar belakang......................................................................................................................1
    2. Rumusan masalah................................................................................................................1
    3. Tujuan ..................................................................................................................................1
    Pembahasan
    1. Manusia menurut Dr. Alexis Carrel....................................................................................2
    2. Manusia menurut Ibn Sina..................................................................................................3
    3. Kesamaan pendapat antara Dr. Alexis Carrel dan Ibn Sina...............................................7
    4. Perbedaan pendapat antara Dr. Alexis Carrel dan Ibn Sina................................................7
    Kesimpulan ......................................................................................................................................8
    Daftar pustaka...................................................................................................................................9

    PENDAHULUAN
    1. Latar Belakang
    Dewasa ini, pertentangan pemikiran filosofis tentang kebangkitan jasmani memperoleh dimensi baru dalam perspektif fisika moderen. Sebagaimana diketahui sejak lama fisika moderen telah membuktikan bahwa materi dapat berubah menjadi energi, logikanya demikian pula sebaliknya. Keduanya dibedakan oleh tingkat kepadatjarangan belaka; jika energi memadat, berubah menjadi materi, dan jika materi menjarang, berubah menjadi energi. Dengan demikian dewasa ini tidak lagi dibedakan secara substansial antara materi dan immateri. Jika hal ini analog dengan kematerian jasad dan keimmaterian nafs, tentu tidak relevan lagi mempertentangkan manakah yang nanti akan dibangkitkan, nafs dan jasad atau nafs saja. Bahkan sebelum jasad mencapai tahap fenomenal dalam entitas kematerialannya, secara substansial ia berwujud immateri – yang baik menurut al-Farabi maupun Ibn Sina – melalui pola cipta emanasi. Begitu tahap fenomenal mulai dialami oleh wujud immateri kejasadan tersebut, terjadilah perubahan ke arah perwujudan materi. Dengan demikian persoalan materi-immateri ini hanyalah persoalan perubahan kwantitas dan forma belaka, bukan persoalan perubahan kwalitas substansial. Konsekwensi kajian seperti ini tentulah menjadikan dualisme kejasad-nafsan manusia terbatas semata-mata pada tahap fenomenal. Sedangkan pada tahap transendental, dualisme itu mengalami perubahan yang sangat mendasar, sebab tidak lagi dalam arti manusia tersusun dari jasad material dan nafs immaterial, tetapi dalam arti manusia yang sekalipun bermula dari dua unsur tersebut, telah berubah menjadi suatu entitas yang tak terbagi. Apakah entitas yang tak terbagi ini bersifat immateri, materi, atau pada masanya kelak berubah kembali menjadi bersifat dualisme materi dan immateri yang terpadu, bukan merupakan suatu persoalan, sebab secara substansial tidak ada lagi perbedaan antara materi dan immateri.
    1. Rumusan Masalah
    1.      Bagaimana pemikiran Dr. Alexis Carrel tentang manusia?
    2.      Bagaimana pemikiran Ibn Sina tentang manusia?
    3.      Apa kesamaan pendapat Dr. Alexis Carrel dan Ibn Sina?
    4.      Apa perbedaan pendapat Dr. Alexis Carrel dan Ibn Sina?
    1. Tujuan
    ·         Mengetahui pemikiran Dr. Alexis Carrel dan Ibn Sina.
    ·         Mengetahui kesamaan dan perbedaan pendapat Dr. Alexis Carrel dan Ibn Sina.

    PEMBAHASAN
    A.     Manusia menurut Dr. Alexis Carrel
    Dari kalangan pemikir abad moderen, pembahasan manusia dapat kita jumpai oleh Dr. Alexis Carrel (peletak dasar ilmu humaniora Barat) yang dikutip oleh Abuddin Nata (2005:81) mengatakan bahwa manusia adalah makhluk yang misterius. Kedudukan manusia yang terpisah dari dirinya menyebabkan aspek kajian dunia luar manusia lebih tinggi. Hal ini menunjukan bahwa, kajian tentang manusia secara menyeluruh sulit untuk dipahami dan tidak pernah selesai untuk dikaji. Ketika dari satu aspek selesai dipahami, maka akan timbul aspek lain yang belum dibahas. 
    Sejak lahir, seorang manusia sudah langsung terlibat didalam kegiatan pendidikan dan pembelajaran. Dia dirawat, dijaga, dilatih, dan dididik oleh orangtua, keluarga, dan masyarakatnya menuju tingkat kedewasaan dan kematangan, sampai kemudian terbentuk potensi kemandirian dalam mengelola kelangsungan hidupnya. 
    Setelah taraf kedewasaan dicapai, manusia tetap melanjutkan kegiatan pendidikan dalam rangka pematangan diri. Kematangan diri adalah kemampuan menolong diri sendiri, orang lain, dan terutama menolong kelestarian alam agar tetap berlangsung dalam ekosistemnya. Antara manusia dan pendidikan terjalin hubungan kausalitas. Karena manusia, pendidikan mutlak ada; dan karena pendidikan, manusia semakin menjadi diri sendiri sebagai manusia yang manusiawi. 
    Dengan kegiatan pendidikan dan pembelajaran secara terus menerus, manusia mendapatkan ilmu pengetahuan yang sarat dengan nilai kebenaran baik yang universal-abstrak, teoritis, maupun praktis. Nilai kebenaran ini selanjutnya mendorong terbentuknya sikap perilaku arif dan berkeadilan. Lebih lanjut, dengan sikap dan perilaku tersebut, manusia membangun kebudayaan dan peradabannya. Kebudayaan, baik yang material ataupun yang spiritual, adalah upaya manusia untuk mengubah dan membangun keterhubungan berimbang baik secara horizontal maupun vertikal .
    Manusia merupakan makhluk sosial. Manusia disebut makhluk sosial karena memiliki faktor-faktor sebagai berikut :
    1.      Sifat ketergantungan manusia dengan manusia lainnya;
    2.      Sifat adaptabiliti dan intelegensi. 
    Sifat ketergantungan manusia misalnya terlihat dari contoh seorang bayi yang dilahirkan, ia sangat tergantung kepada pertolongan orang tuanya. Tanpa ada pertolongan dari kedua orang tuanya, bayi tersebut akan meninggal. Manusia juga memiliki potensi untuk menyesuaikan diri, meniru dan beridentifikasi diri, mampu mempelajari tingkah laku dan mengubah tingkah laku.
    Selanjutnya manusia dapat dilihat dari aspek antropologi. Antropologi adalah studi tentang asal-usul, perkembangan, karakteristik jenis manusia. Dalam pandangan antropologi biologis, manusia adalah puncak evolusi dari makhluk hidup.Ilmu yang mempelajari tentang hakikat manusia disebut Antropogi filsafat. Berbicara hakikat manusia berarti ada empat aliran yang dikemukakan yaitu: 
    Aliran serba zat, aliran serba ruh, aliran dualisme, aliran eksistensialisme:
    1.      Aliran Serba Zat, Aliran serba zat ini mengatakan yang sungguh-sungguh ada itu hanyalah zat atau materi.Alam ini adalah zat atau materi dan manusia adalah unsur alam, maka dari itu manusia bagian dari zat atau materi. 
    2.      Aliran Serba Ruh Aliran ini berpendapat bahwa segala hakikat sesuatu yang ada di dunia ini ialah ruh, juga hakikat manusia adalah ruh, adapun zat itu adalah manifestasi dari pada ruh di atas dunia ini. Fitche mengemukakan bahwa segala sesuatu yang lain (selain ruh) yang rupanya ada dan hidup hanyalah suatu jenis perumpamaan, perubahan atau penjelmaan dari ruh. Dasar pikiran aliran ini ialah bahwa roh itu lebih berharga, lebih tinggi nilainya daripada materi. Hal ini mereka buktikan dalam kehidupan sehari-hari, yang mana betapapun kita mencintai seseorang jika ruhnya pisah dengan badannya, maka materi/jasadnya tidak ada artinya. Dengan demikian aliran ini menganggap ruh itu ialah hakikat sedangkan badan ialah penjelmaan atau bayangan. 
    3.      Aliran Dualisme Aliran ini menganggap bahwa manusia itu pada hakikatnya terdiri dari dua substansi yaitu jasmani dan rohani. Kedua substansi ini masing-masing merupakan unsur asal, yang adanya tidak tergantung satu sama lain. Jadi badan tidak berasal dari ruh dan ruh tidak berasal dari badan. Perwujudannya manusia adalah gabungan dari dua unsur, jasad dan ruh. Antara badan dan ruh terjadi sebab akibat yang mana keduanya saling mempengaruhi. 
    4.      Aliran Eksistensialisme Aliran filsafat modern berpikir tentang hakikat manusia merupakan eksistensi atau perwujudan sesungguhnya dari manusia. Jadi intinya hakikat manusia itu yaitu apa yang menguasai manusia secara menyeluruh. Disini manusia dipandang tidak dari sudut serba zat atau serba ruh atau dualisme dari dua aliran itu, tetapi memandangnya dari segi eksistensi manusia itu sendiri didunia ini. 
    Aliran-aliran tentang manusia di atas tentunya, belum memiliki pengertian yang seimbang dengan konsepsi manusia dalam Islam. Aliran tentang manusia tersebut memberikan pandangan yang berbeda tentang hakikat manusia. Paling tidak, manusia dalam pemikiran manusia atau manusia menurut manusia memiliki perbedaan, belum kalau hal ini dikaji dari perspektif manusia menurut Tuhan. 

    B.     Manusia menurut Ibn Sina
    Kajian Ibn Sina tentang manusia sampai pada kesimpulan bahwa manusia tersusun dari jasad dan nafs. Jasad manusia, sebagaimana jasad tumbuh-tumbuhan dan jasad hayawan – terdiri dari empat unsur : api, udara, air, dan tanah kering. Perbedaan proses formulasi dan perbedaan pengaruh potensi astronomik (al-quwa al-falakiyat) menyebabkan perbedaan antara jasad manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan, dan sekaligus menyebabkan perbedaan tingkat nafs yang memberi kesempurnaan primer pada masing-masing jasad tersebut. Nafs itu sendiri bukan muncul dari proses formulasi unsur-unsur jasad, tetapi berasal dari sumber  luar.[1]
    Sementara itu dalam masalah asal-usul nafs tersebut, Ibn Sina memiliki dua pendapat. Ia menyatakan bahwa nafs baru terjadi setelah jasad siap menerimanya. Jasad itu sendiri merupakan alat bagi nafs. Dengan demikian bagi Ibn Sina, nafs itu tidak terdapat dalam keadaan terpisah dari jasad, lalu bertempat padanya. Dengan kata lain, nafs itu tercipta semata-mata diperuntukkan bagi suatu jasad tertentu, sehingga setiap jasad memiliki nafs yang memang spesifik baginya. Akan tetapi ia juga memiliki pendapat yang berlawanan dengan pendirian ini. Dalam hal ini ia menyebut bahwa nafs itu “habatat ilayk min al-mahall al-arfa’”, suatu pendirian yang mirip dengan teori dunia ide Plato. Menurut Ibn Sina nafs dalam jasad itu bagaikan burung yang terkurung dalam sangkar, merindukan kebebasannya di alam lepas, menyatu kembali dengan alam rokhani, alam asalnya. Setiap kali ia mengingat alam asalnya, ia pun menangis karena rindu ingin kembali.[2]
    Mengenai dua pendapat Ibn Sina yang saling berlawanan tersebut memang didapati upaya pengkompromian sebagai berikut. Bahwa nafs parsial terpancar dari nafs universal, akan tetapi nafs tersebut tidak mengaktualisasikan diri, sampai tercipta suatu jasad tertentu baginya. Hanya saja timbul persoalan dengan adanya pernyataan Ibn Sina bahwa nafs itu turun dalam keadaan enggan untuk kemudian terbelenggu oleh jasad. Dengan demikian tampaknya dua pendapat tersebut sulit untuk diupayakan pengkompromiannya, kecuali jika dipakai sudut pandang yang berbeda. Sudut pandang pertama dari segi kajian filosofis, bahwa Ibn Sina tampaknya berusaha menyempurnakan teori Aristoteles dengan cara melepaskan nafs dari sebagai forma menjadi sebagai kamal (penyempurna) bagi badan jasmani. Sedang sudut pandang yang lain ialah dari segi tasawuf : badan kasar manusia adalah belenggu bagi kebebasan nafs menuju alam kerokhaniannya.
    1.      Nafs: Hakikat, Fungsi, dan Alasan Pembedaannya dengan Jasad
    Ibn Sina menyatakan  bahwa nafs al-insan ialah kesempurnaan primer bagi jasad alami yang organis dari segi melakukan berbagai aktifitas yang ada dengan dasar ikhtiar fikri dan mengambil kesimpulan dengan nalar, serta dari segi mengetahui hal-hal yang universal (kamal awwal li jism thabi’iy ‘alamiy min jihat ma yaf’al al-af’al al-kainat bi al-ikhtiyar al-fikriy wa al-istimbat bi al-ra’y wa min jihat ma yudrik al-umur al-kulliyat).[3]
    Nafs disebut oleh Ibn Sina sebagai kesempurnaan karena nafs itu dipandang sebagai kamal dari segi sebagai potensi yang memberikan kesempurnaan pada persepsi serta sebagai sumber berbagai aktifitas. Demikian pula nafs yang terpisah juga disebut kamal, seperti juga nafs yang tidak terpisah. Adapun nafs disebut sebagai kesempurnaan primer dimaksudkan sebagai kausal bagi species menjadi species, sedang kesempurnaan skunder merupakan atribut pengikat pada species. Sementara itu istilah jism digunakan dalam arti genusnya bukan fisik materialnya, sedang kata thabi’iy dipakai untuk membedakan dari jisim sinaiy (artifisial), demikian penjelasan Rayyan [4]dalam kajiannya terhadap Ibn Sina.
    Ibn Sina mengemukakan beberapa alasan untuk mendukung pendiriannya bahwa nafs memiliki eksistensi sendiri, tidak inheren dan sebentuk dengan jasad.
    a.       Dalil Natural-Psychology, suatu dalil yang berpijak pada perlawanan terhadap gerak natural, dan dalil berikutnya yang berpijak pada capaian pengetahuan (idrak). Di antara berbagai gerak, terdapat suatu gerak yang melawan hukum alam (kajian moderen menyebut gravitasi) : manusia berjalan, burung terbang. Gerak demikian menghendaki adanya penggerak khusus yang melebihi unsur-unsur benda yang bergerak, yakni nafs. Idrak tidak dimiliki semua makhluk, tetapi hanya dimiliki oleh sebagiannya saja. Ini menunjukkan adanya kekuatan pembeda antara sebagian dan sebagian yang lain. Kekuatan pembeda tersebut ialah nafs.
    b.      Dalil Istimrar (continuity) suatu dalil yang menyatakan bahwa berbeda dengan jasad yang mengalami perubahan (dengan kematian serta lahirnya sel-sel baru, menurut bahasa kajian moderen), nafs tidak pernah mengalami perubahan dan pergantian seperti itu. Demikian Ibn Sina dalam risalahnya yang disebut oleh Ahwani.
    c.        Manusia Terbang, suatu dalil yang menyatakan bahwa andaikata orang yang secara organik sempurna berada di angkasa dalam keadaan mata tertutup tidak mengetahui apa-apa, tidak merasakan sentuhan apapun – termasuk dengan anggota badan sendiri – ia tetap yakin terhadap eksistensi dirinya. Dalam keadaan seperti itu jika ia menghayalkan adanya tangan atau anggota tubuh lainnya, maka ia tidak akan menghayalkan sebagai bagian atau syarat bagi eksistensi dirinya. Ini membuktikan bahwa wujud nafs itu berbeda dengan, bahkan bukan jasad.Selain dalam al-Isyarat, (Juz I : 121) Ibn Sina mengemukakan versi lain dalam al-Syifa’ sebagaimana didapati dalam Avecinna’s Psychology.
    d.       Dalil ke Akuan dan Penyatuan Gejala Kejiwaan. Dalil keAkuan menyatakan bahwa pemilikan dengan formulasi “..ku” ketika suatu aktifitas terjadi – misalnya mengambil dengan tanganku – menunjukkan bahwa aku, ku atau pribadi bukanlah kadar atau peristiwa-peristiwanya yang dimaksudkan, melainkan nafs dan keuatannya. Sedang dalil penyatuan gejala kejiwaan menyatakan bahwa perasaan dan aktifitas manusia sangat beragam, bahkan juga saling bertentangan – misalnya sedih, dan senang – tetapi semua itu dapat terjadi pada satu diri. Ini hanya dapat terjadi jika dalam diri tersebut terdapat suatu pengikat yang menyatukan keseluruhannya (ribath yajma’ baynaha kullaha). Pengikat tersebut ialah nafs.[5]
    Dengan bukti-bukti seperti diuraikan di atas, Ibn Sina sampai pada kesimpulan bahwa nafs manusia memiliki eksistensi sendiri, suatu eksistensi yang bersifat immateri yang memberikan kesempurnaan terhadap jasad yang bersifat materi. Ini berarti secara tidak langsung ia menolak pendekatan materialisme dalam memahami nafs manusia. Lebih jauh penting untuk dikemukakan bahwa di antara bukti-bukti tersebut di atas terdapat kemiripan dengan kajian-kajian modern, khususnya di bidang filsafat. Dalil orang terbang misalnya, mirip dengan “cogito”, suatu dalil yang lahir dari renungan Descartes, sekalipun secara substansial terdapat perbedaan penting antara keduanya. Para ahli sejarah filsafat memang telah menunjukkan affinitas alasan Ibn Sina dengan cogito ergo sumnya Descartes. Dalam hal ini Rahman menjelaskan bahwa baik Ibn Sina maupun Descartes diilhami oleh pemikiran Plotinus tentang keterpisahan jiwa dari tubuh. Namun demikian terdapat perbedaan pokok antara apa yang dirumuskan Ibn Sina dan cogito Descartes. Bagi Descartes antara ‘ I think “ dan I am” mempunyaia kesamaan makna. Dalam hal ini jelas bahwa kesadaran diri dan keberadaannya secara logis tak dapat dipisahkan. Berbeda dengan Descartes, Ibn Sina memandang unsur kesadaran itu ada sejak seseorang dapat mengukuhkan eksistensinya sendiri yang betatapun ada hanyalah sebagai cara menempati diri, ia adalah kenyataan yang mungkin, dan bukan suatu kemestian yang logis. Sesungguhnya Ibn Sina berada di antara Descartes dan Plotinus; karena bagi Plotinus kesadaran – sebagai suatu hubungan -menandakan bukan identitas diri yang jelas, tetapi semacam ke-lain-an; dalam identitas diri yang penuh, kesadaran mesti berhenti. Mengenai keorisinalan dalil cogito Descartes di atas, para pembahas berbeda-beda pendapat. Namun terlepas dari perbedaan ini, yang jelas Ibn Sina dengan Manusia Terbangnya telah mendahului cogito Descartes.[6]
    2.      Nafs: Hubungannya dengan Jasad di Alam Fenomenal dan AlamTransendental
    Sebagaimana telah dikemukakan pada uraian-uraian sebelumnya, Ibn Sina memandang bahwa nafs adalah substansi immateri yang muncul dari intelegensi aktif bersama dengan munculnya suatu tubuh yang kemudian bertindak sebagai kamal awwal. Kemunculan suatu nafs bersifat sedemikian spesifik diperuntukkan bagi tubuh tertentu. Ia adalah substansi immateri  yang independen bagi jasad yang diasuhsempurnakan berhadapan dengan nafs lain bagi tubuh lain pula. Dengan kata lain, Ibn Sina menolak paham reinkarnasi (al-tanasukh) sebagaimana dikemukakan dalam al-Shifa’. Demikian itu karena pada taraf fenomenal di antara nafs dan jasad terdapat suatu mystique yang secara eksklusif menjadikan keduanya serasi, sehingga reinkarnasi tidak mungkin terjadi. Dengan demikian mystique ini merupakan sebab dan akibat dari individualitas diri. Oleh sebab itu, Ibn Sina menolak sepenuhnya pandangan tentang identitas yang mungkin dari dua jiwa atau dari ego yang terlebur dengan ego Ilahi, ia menekankan bahwa kelanjutan hidupnya mestilah bersifat individual.
    Menurut Ibn Sina antara jasad dan nafs memiliki korelasi sedemikian kuat, saling bantu membantu tanpa henti-hentinya. Nafs tidak akan pernah mencapai tahap fenomenal tanpa adanya jasad. Begitu tahap ini dicapai ia menjadi sumber hidup, pengatur, dan potensi jasad, bagaikan nakhoda (al-rubban) begitu memasuki kapal ia menjadi pusat penggerak, pengatur dan potensi bagi kapal itu. Jika bukan karena jasad, maka nafs tidak akan ada, karena tersedianya jasad untuk menerima, merupakan kemestian baginya wujudnya nafs, dan spesifiknya jasad terhadap nafs merupakan prinsip entitas dan independennya nafs. Tidak mungkin terdapat nafs kecuali jika telah terdapat materi fisik yang tersedia untuknya. Sejak pertumbuhannya, nafs memerlukan, tergantung, dan diciptakan karena (tersedianya) jasad. Dalam aktualisasi fungsi kompleknya, nafs mempergunakan dan memerlukan jasad, misalnya berpikir yang merupakan fungsi spesifiknya tak akan sempurna kecuali jika indera turut membantu dengan efeknya.
    Berdasarkan pengalaman medisnya, Ibn Sina menyatakan bahwa sebenarnya secara fisik orang-orang sakit, hanya dengan kekuatan kemauannyalah dapat menjadi sembuh. Begitu juga orang yang sehat, dapat benar-benar menjadi sakit bila terpengaruh oleh pikirannya bahwa ia sakit. Demikian pula, jika sepotong kayu diletakkan melintang di atas jalan sejengkal, orang dapat berjalan di atas kayu tersebut dengan baik. Akan tetapi jika kayu diletakkan sebagai jembatan yang di bawahnya terdapat jurang yang dalam, orang hampir tidak dapat melintas di atasnya, tanpa benar-benar jatuh. Hal ini disebabkan ia menggambarkan kepada dirinya sendiri tentang kemungkinan jatuh sedemikian rupa, sehingga kekuatan alamiah jasadnya menjadi benar-benar seperti yang digambarkan itu. Demikian Ibn Sina dalam al-Shifa’nya.[7]
    Korelasi antara nafs dan jasad, menurut Ibn Sina tidak terdapat pada satu individu saja. Nafs yang cukup kuat, bahkan dapat menyembuhkan dan menyakitkan badan lain tanpa mempergunakan sarana apapun. Dalam hal ini ia menunjukkan bukti fenomena hipnotis dan sugesti (al-wahm al’amil) serta sihir. Mengenai masalah ini, Hellenisme memandang sebagai benar-benar ghaib, sementara Ibn Sina mampu mengkaji secara ilmiah dengan cara mendeskripsikan betapa nafs yang kuat itu mampu mempengaruhi fenomena yang bersifat fisik. Dengan demikian ia telah berlepas diri dari kecenderungan Yunani yang menganggap hal-hal tersebut sebagai gejala paranatural, pada campur tangan dewa-dewa.[8]
    Sekalipun pada tahap fenomenal, dalam mengaktualisasikan keindividualannya nafs memerlukan bantuan fisik  – sekaligus berdampak balik sebagai kesempurnaan bagi fisik itu sendiri -, namun dalam tahap transendental yang dimulai dengan peristiwa kematian, nafs tidak lagi menghajatkan jasad. Demikian ini disebabkan oleh adanya kenyataan bahwa jasad bukanlah merupakan causa prima (‘illlat) bagi nafs, juga karena nafs itu sendiri bersifat immateri (ruhaniyyat) lagi halus (basitah), suatu entitas tak tersusun. Dengan keadaan dan sifatnya seperti itu, nafs tidak turut hancur bersama kematian jasad, bahkan pada tahap transendental itu nafs berada pada alam kekalnya. Dalam hal ini Ibn Sina memiliki pemikiran filosofis yang berbeda dengan pendirian baik Aristoteles maupun al-Farabi. Bagi Aristoteles, pada tahap transendental tersebut hanya al-‘aql al-fa’’al (the active intellect) yang kekal, sedang bagi al-Farabi yang kekal hanya al-‘aql al-mustafad (the acquired intellect). Sementara itu Ibn Sina berpendirian bahwa nafs manusia yakni al-nafs al-natiqah dengan semua potensinya merupakan substansi immateri yang kekal abadi, tak mengalami kerusakan sama sekali.[9]
    Pemikiran filosofis Ibn Sina tentang kekal abadinya nafs tampaknya terkait dengan ajaran Islam tentang kekekalabadiannya surga dan neraka, dan tentu saja pemikiran skolastik tersebut merupakan upaya filosof ini membangun pemahaman terhadap Islam di atas dasar pemikiran yang sangat mendalam. Namun ketika Ibn Sina sampai pada pendirian bahwa nafs pada tahap transendental ini tidak lagi berhajat pada jasad – yang oleh karena itu ia menolak adanya kebangkitan jasmani -, tak terhindarkan lagi muncul polemik filosofis yang berkepanjangan. Al-Ghazali hadir menggugat pendirian Ibn Sina tersebut dengan Tahafut al-Falasifah , Ibn Rushd  –sekalipun dalam batas-batas tertentu juga mengkritik Ibn Sina—dengan Tahafut al-Tahafutnya berusaha mengadakan pembelaan terhadap al-Shayk al-Rais ini.
    Dewasa ini, pertentangan pemikiran filosofis tentang kebangkitan jasmani memperoleh dimensi baru dalam perspektif fisika moderen. Sebagaimana diketahui sejak lama fisika moderen telah membuktikan bahwa materi dapat berubah menjadi energi, logikanya demikian pula sebaliknya. Keduanya dibedakan oleh tingkat kepadatjarangan belaka; jika energi memadat, berubah menjadi materi, dan jika materi menjarang, berubah menjadi energi. Dengan demikian dewasa ini tidak lagi dibedakan secara substansial antara materi dan immateri. Jika hal ini analog dengan kematerian jasad dan keimmaterian nafs, tentu tidak relevan lagi mempertentangkan manakah yang nanti akan dibangkitkan, nafs dan jasad atau nafs saja. Bahkan sebelum jasad mencapai tahap fenomenal dalam entitas kematerialannya, secara substansial ia berwujud immateri – yang baik menurut al-Farabi maupun Ibn Sina – melalui pola cipta emanasi. Begitu tahap fenomenal mulai dialami oleh wujud immateri kejasadan tersebut, terjadilah perubahan ke arah perwujudan materi. Dengan demikian persoalan materi-immateri ini hanyalah persoalan perubahan kwantitas dan forma belaka, bukan persoalan perubahan kwalitas substansial. Konsekwensi kajian seperti ini tentulah menjadikan dualisme kejasad-nafsan manusia terbatas semata-mata pada tahap fenomenal. Sedangkan pada tahap transendental, dualisme itu mengalami perubahan yang sangat mendasar, sebab tidak lagi dalam arti manusia tersusun dari jasad material dan nafs immaterial, tetapi dalam arti manusia yang sekalipun bermula dari dua unsur tersebut, telah berubah menjadi suatu entitas yang tak terbagi. Apakah entitas yang tak terbagi ini bersifat immateri, materi, atau pada masanya kelak berubah kembali menjadi bersifat dualisme materi dan immateri yang terpadu, bukan merupakan suatu persoalan, sebab secara substansial tidak ada lagi perbedaan antara materi dan immateri.

    C.     Kesamaan Pendapat antara Dr. Alexis Carrel dan Ibn Sina
    Walaupun mereka tidak sama asal negara yang satu dari ilmuan barat dan yang satu dari ilmuan islam tapi mereka memiliki beberapa kesamaan pendapat,diantaranya:
    1.      Mereka sama sama berpendapat bahwa manusia tersusun atas jasad dan ruh. Dr. Alexis Carrel berpendapat bahwa hakikat manusia terdiri atas zat dan ruh. Sedangkan menurut Ibn Sina berpendapat bahwa manusia tersusun dari jasad dan nafs.
    2.      Mereka sama pendapatnya bahwa ruh atau nafs adalah bagian yang sangat penting bagi manusia. Dr.Alexis Carrel berpendapat bahwa roh itu lebih berharga, lebih tinggi nilainya daripada materi/zat. Sedangkan Ibn Sina berpendapat bahwa nafs al-insan ialah kesempurnaan primer bagi jasad alami.
    3.      Mereka sama berpendapat bahwa ruh dan jasad proses munculnya tidak saling tidak terkait. Dr.Alexis Carrel berpendapat bahwa antara badan dan ruh terjadi sebab akibat yang mana keduanya saling mempengaruhi. Sedangkan Ibn Sina berpendapat bahwa . nafs itu sendiri bukan muncul dari proses formulasi unsur-unsur jasad, tetapi berasal dari sumber  luar.
    4.      Mereka sama pendapatnya bahwa ruh dan jasad manusia saling menguatkan. Dr.Alexis Carrel berpendapat bahwa hakikat manusia itu adalah apa yang menguasai manusia secara menyeluruh tidak dipan dang satu sudut yaitu ruh atau jasad. Sedangkan Ibn Sina berpendapat bahwa jasad dan nafs memiliki korelasi sedemikian kuat, saling bantu membantu tanpa henti-hentinya.

    D.     Perbedaan pendapat antara Dr.Alexis Carrel dan Ibn Sina
    Meski mereka memiliki beberapa kesamaan, tapi ada juga perbedaan pendapat diantaranya:
    1.      Mereka berbeda pendapat bahwa jasan manusia tersusun atas beberapa materi. Dr.Alexis Carrel berpendapat bahwa jasad atau zat manusia merepakan bagian dari alam. Sedangkan Ibn Sina berpendapat bahwa jasad manusia tersusun atas beberapa zat alam seperti air,tanah,udara, dan api.
    2.      Mereka berbeda pendapat dalam pembahasan manusia. Dr.Alexis Carrel lebih membahas kebutuhan manusia dan realitas manusia seperti manusia membutuhkan pendidikan dan lain lain. Sedangkan Ibn Sina lebih membahas tentang hakikat nafs atau ruh.

    KESIMPULAN

    Ø  Pengertian manusia menurut Dr.Alexis Carrel adalah manusia merupakan makhluk sosial karena memiliki sifat bergantung pada manusia yang lain,adaptabiliti dan intelegensi.Manusia juga makhluk yang misterius karena kedudukan manusia antara jasad dan ruh tidak dapat dipisahkan.
    Ø  Pengertian manusia menurut Ibn Sina adalah manusia tersusun dari jasad dan nafs. Jasad manusia, sebagaimana jasad tumbuh-tumbuhan dan jasad hayawan – terdiri dari empat unsur : api, udara, air, dan tanah kering. Perbedaan proses formulasi dan perbedaan pengaruh potensi astronomik (al-quwa al-falakiyat) menyebabkan perbedaan antara jasad manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan.
    Ø  Kesamaan pendapat antara Dr.Alexis Carrel dan Ibn Sina dalam hal antara lain:
    ·         Mereka sama sama berpendapat bahwa manusia tersusun atas jasad dan ruh.
    ·         Mereka sama pendapatnya bahwa ruh atau nafs adalah bagian yang sangat penting bagi manusia.
    ·         Mereka sama berpendapat bahwa ruh dan jasad proses munculnya tidak saling tidak terkait.
    ·         Mereka sama pendapatnya bahwa ruh dan jasad manusia saling menguatkan.
    Ø  Perbedaan pendapat antara Dr.Alexis Carrel dan Ibn Sina dalam hal antara lain:
    ·         Mereka berbeda pendapat bahwa jasan manusia tersusun atas beberapa materi.
    ·         Mereka berbeda pendapat dalam pembahasan manusia.

    DAFTAR PUSTAKA

    Ahwani, A.F. al. 1952. Ibn Sina: Risalah fi al-Ma’rifah al-Nafs al-Nathiqah wa Ahwaliha. Qahirah: Dar al-Ma’arif.
    Aristoteles, 1978. De Anima. Terjemah Inggris oleh D.W. Hamlyn. Oxford: Clarendon Press.
    Boer, T.J. De. 1957. History of Philosophy in Islam. Terjemah Arab oleh M.A.H. Raidah. Qahirah: al-Nahdlah al-Mishriyyah.
    Descartes, Rene. “Meditation: On First Philosophy” dalam Feinberg, Joel, Ed. 1987. Reason and Responsibility. California: Wadsworth Publishing Company.
    Fakhuri, Hana al. dan Khalil al-Jarr. 1958. Tarikh al-Falsafah al-‘Arabiyyah. Beirut: Dar al-Ma’arif.
    Farabi, al. 1948. Ara` Ahl al-Madinah al-Fadlilah. Qahirah: ‘Aliy Shubaih.
    —————, 1907. “Fushush al-Hikam” dalam Majmu’ al-Rasa`il. Qahirah: Tanpa Penerbit.
    Faruq, Umar. 1962. Tarikh al-Fikr al-‘Arabiy ila Ayyam Ibn Khaldun. Beirut: Tanpa Penerbit.
    Ghallab, Muhammad. Tanpa Tahun. Al-Ma’rifah ‘Ind Mufakkiri  al-Muslimin. Mishr: Dar al-Jail.
    Ibn Sina. 1938. Al-Najat. Qahirah: Mushthafa al-Halabiy.
    —————-, “al-Syifa`: Kitab al-Nafs” dalam F. Rahman. 1952. Avecenna’s Psychology. London: Oxford University.
    Madkur, Ibrahim. 1976. Fi al-Falsafah al-Islamiyyah. Jilid I. Mishr: Dar al-Ma’arif.
    Rahman, F. 1952. Avecenna’s Psychology. London: Oxford University.
    —————-, “Ibn Sinadalam M.M. Syarif, Ed. 1963. A History of Muslim Philosophy. Jilid I. Weisbaden: Otto Horrassowitz.
    Rayyan, Muhammad Ali Abu. 1967. al-Falsafah al-Islamiyyah. iskandariyah: al-Qaumiyyah.



    [1] Lihat Ibn Sina, al-Najat, (Kairo : Mustafa al-Halabiy, 1938), 249, 256, 257. Muhammad ‘Ali Abu Rayyan, al-Falsafat al-Islamiyat, 1967 (Iskandariyah : al-Dar al-Qaumiyah), 483-4. T.J. De Boer, History of Philosophy in Islam, terj. Arab oleh M.A.H.Abu Raidat, 1957 (Kairo : al-Nahdat al-Misriyah), 259-60.
    [2] Ibn Sina, al-Najat, 1938 ( Kairo : Mustafa al-Halabi), 184-5.
    [3] Ibn Sina, al Najat, 158.
    [4] Rayyan, 485-6.
    [5] Muhammad Ghallab, al-Ma’rifat ‘ind Mufakkir al-Muslimin, tt ( Mesir : Dar al-Jail), 248-9, dan Rayyan,490-1. t
    [6] Madkur, Ibrahim Madkur, Fi Falsafat.. Juz I, 179
    [7] Rahman, Avecenna’s…, 199-200.
    [8] Syarif, 492.
    [9] Rahman, Avecenna’as…, 233, Rayyan, 493.

    Leave a Reply

    Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

  • Copyright © 2025 - expresi top

    expresi top - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan